Jumat, 13 Maret 2009

PENCEMARAN AIR

PENCEMARAN AIR
(Oleh : Yuli Istiarini – H1E107004)


Air merupakan sumber kehidupan makhluk hidup yang ada di bumi ini. Karena air merupakan kebutuhan dasar manusia, hewan, ataupun tanaman. Semua tergantung pada air, sehingga tanpa air maka tidak akan ada kehidupan Akan tetapi banyak aktivitas manusia yang menimbulkan pencemaran terhadap air. Seperti membuang sampah di sembarang tempat, limbah domestik, limbah industri, dan limbah pertanian.  
Sesuai dengan adanya siklus hidrologi, yaitu sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari bumi ke atmosfer kemudian jatuh kembali ke bumi dalam bentuk presipitasi, maka jumlah air yang ada di bumi ini adalah tetap dan konstan. Namun, akibat adanya pencemaan terhadap air terutama oleh aktivitas manusia, maka kualitas air menurun hingga tidak dapat dimanfaatkan. Sebagai contoh di perkotaan, air tanah dan air permukaan ada yang sudah tidak dapat dimanfaatkan. Kelangkaan air bersih di perkotaan merupakan masalah bagi masyarakat.  
Di beberapa tempat air tanah mengalami penurunan kualitas karena terkena rembesan, baik dari limbah domestik, industri, ataupun pertanian yang berasal dari penggunaan pupuk/ pestisida. Polutan tersebut bergerak mencemari tanah dan kemudian merembes hingga terbawa oleh aliran air tanah sehingga menjadi pencemaran terhadap air tanah. Air tanah dapat mengalir secara kapiler atau gravitasi. Pada arah aliran kapiler, air bergerak ke berbagai arah, sedangkan air yang mengalir secara gravitasi akan dengan cepat bergerak. Beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan pergerakan air tersebut di dalam tanah antara lain adalah tekstur tanah yang berhubungan dengan ukuran pori tanah. Ukuran pori tanah akan mempengaruhi porositas tanah yaitu kemampuan tanah dalam menyimpan air. Porositas pada berbagai jenis tanah bervariasi, sehingga kemampuan dalam menahan airnya juga bervariasi. Ada jenis tanah tertentu yang dapat menghambat aliran kontaminan dengan mengikatnya di dalam pori; struktur tanah dan batuan, karena dapat mempengaruhi lintasan yang harus dilewati oleh air tanah; permeabilitas tanah atau kemampuan tanah untuk memindahkan air. Pada tanah yang permeable memungkinkan kontaminan dapat mengalir dengan cepat; Konsentrasi zat pencemar, semakin besar konsentrasi penggunaan pestisida, maka semakin besar pula konsentrasi zat pencemar di dalam tanah hingga masuk/sampai ke air tanah. Air tanah yang telah tercemar ini tentunya sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan berbagai pengaruh negatif terhadap kesehatan.
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, sehingga sumber utama pencemaran air di Indonesia adalah limbah domestik, yang berasal dari dapur, kamar mandi, dan tinja. Kesadaran masyarakat untuk mengelola buangan dari rumah tangga masih kurang. Masih banyak masyarakat yang belum memiliki sistem buangan limbah yang baik. Pada beberapa kota, dapat dijumpai banyaknya rumah kumuh/tidak layak huni, dan rumah yang didirikan di bantaran sungai. Kebanyakan dari rumah - rumah tersebut masih belum memiliki perencanaan septic tank yang baik dan ada yang langsung dibuang ke sungai. Bagi yang tinggal di bantaran sungai, mereka membuang limbah hasil aktivitas hidupnya langsung ke sungai. Air sungai yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari juga dijadikan tempat pembuangan aktivitas rumah tangga.  
Sumber pencemar lainnya adalah limbah industri, baik industri kecil, sedang, maupun besar. Untuk industri berskala kecil dan menengah menggunakan teknologi yang sederhana dalam proses kegiatan industrinya. Namun, karena jumlah industry yang banyak dan sedikit yang memiliki instalasi pengolahan air limbah, maka secara keseluruhan potensi pencemaran yang diakibatkan menjadi besar. Adanya instalasi pengolahan air limbah merupakan hal penting dalam suatu kegiatan industri. Industri besar wajib punya instalasi pengolahan air limbah. Industri besar umumnya menghasilkan limbah B3,yang membahayakan bagi kesehatan makhluk hidup. Tidak semua teknologi pengolahan limbah cair memerlukan teknologi tinggi dan canggih dengan biaya besar, yang terpenting adalah bagaimana mengelola limbah yang tepat dan efektif atau dengan minimalisasi limbah melalui sistem produksi bersih.  
Pengelolaan limbah domestik yang terbaik dapat dimulai dari sendiri. Untuk wilayah yang lahannya terbatas dapat dilakukan pengeolaan limbah secara komunal dengan peran serta warga maupun sistem secara terpadu. Misalnya dengan menggunakan konsep septic tank gabungan dari beberapa rumah warga dengan desain dan perencanaan yang baik.
Kegiatan industri harus memperhatikan konsep pengelolaan limbahnya. Untuk limbah industri kecil menengah bisa menggunakan teknologi yang sederhana dan tepat guna dengan biaya yang ringan. Salah satu contohnya memakai kembali limbah cair yang telah digunakan dengan teknologi chrome recovery, seperti yang terdapat di Desa Sukaregang, Bandung. Apabila sudah tidak dapat dipakai kembali, limbah cair tersebut harus dilakukan pengolahan dan dilakuan pemantauan apakah telah memenuhi baku mutu limbah cair yang telah ditetakan sebelum dibuang ke perairan Untuk industri besar, pengelolaan limbah harus dipandang tidak sebagai beban biaya operasional, karena pengelolaan limbah berwawasan lingkungan akan menjamin usaha dalam jangka panjang. Limbah B3 yang bersifat racun, mudah meledak, reaktif, menyebabkan infeksi, dan korosif harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu sesuai dengan karateristik limbahnya masing – masing, bisa dengan pengolahan secara fisika – kimia, solidifikasi/ stabilisasi, therma, ataupun biologi sebelum dibuang ke perairan. 
Kita dapat mencegah terjadinya pencemaran air dan berhemat dalam penggunaannya. Hal ini juga memerlukan kesadaran dari tiap individu untuk peduli terhadap air. Kesadaran bahwa kualitas air akan semakin menurun, sehingga kuantitas air yang dapat dimanfaatkan menjadi menurun pula. Diperlukan usaha bersama untuk mengatasi pencemaran air yang ada mengingat pentingnya kegunaan air di dalam hidup ini.
 

Phytophthora Infestan

Phytophthora Infestan
(Yuli Istiarini - H1E107004)


A. MORFOLOGI
Berbagai teknik telah digunakan oleh para peneliti untuk mengkaji keragaman ciri-ciri P. infestans, baik menggunakan teknik yang konvensional maupun teknik molekuler. Beberapa teknik molekuler yang telah digunakan di antaranya adalah analisis allozyme, uji kepekaan terhadap metalaxyl, dan analisis genomik DNA dari isolate P. infestans ( Purwanti, 2002).
Ciri yang khas untuk mengenal sebagian besar Phycomycetes ialah miselliumnya yang tidak bersekat – sekat. Warna misellium putih, jika tua mungkin agak coklat kekuning – kuningan; kebanyakan sporangium berwarna kehitam – hitaman (Dwidjoseputro,2005). Hifanya berkembang sempurna. Phytopthora memiliki sporangium yang berbentuk bulat telur. Phytophthora infestans memproduksi spora aseksual yang disebut sporangia. Ini adalah sporangia hyalin, berbentuk seperti jeruk nipis, panjang 20-40 m (Anonim,2005).









Gambar 1. Morfologi Phytophthora Infestan

B. FISIOLOGI
Pada umumnya, patogen ini berkembangbiak secara aseksual. Cara ini dilakukan tanpa penggabungan sel kelamin betina dan sel kelamin jantan, tetapi dengan pembentukan spora yaitu zoospora yang terdiri dari masa protoplasma yang mempunyai bulu – bulu halus yang bisa bergetar dan disebut cilia, tetapi dapat juga berkembangbiak secara seksual dengan oospora, yaitu penggabugan dari gamet betina besar dan pasif dengan gamet jantan kecil tapi aktif. 














Gambar 2. Daur Hidup Phytophthora Infestan

Daur hidup dimulai saat sporangium terbawa oleh angin. Jika jatuh pada setetes air pada tanaman yang rentan, sporangium akan mengeluarkan spora kembara (zoospora), yang seterusnya membentuk pembuluh kecambah yang mengadakan infeksi (Rumahlewang, 2008). Ini terjadi ketika berada dalam kondisi basah dan dingin yang disebut dengan perkecambahan tidak langsung. Spora ini akan berenang sampai menemukan tempat inangnya. Ketika keadaan lebih panas, P. infestan akan menginfeksi tanaman dengan perkecambahan langsung, yaitu germ tube yang terbentuk dari sporangium akan menembus jaringan inang yang akan membiarkan parasit tersebut untuk memperoleh nutrient dari tubuh inangnya. Sampai sekarang belum diketahui dengan cara bagaimana P. Infestans pada tomat mempertahanakan diri dari musim ke musim. Jamur juga dapat bertahan pada tanaman kentang dan terung yang biasanya terdapat di daerah penanam sayuran pegunungan (Schumann dan D’arcy dalam Benrud, 2000).
Oospora sangat jarang dibentuk, bahkan di Indonesia belum pernah ditemukan (Rumahlewang, 2008), karena jamur ini bersifat heterotalik, artinya perkembangbiakan secara seksual atau pembentukan oospora hanya terjadi apabila terjadi mating (perkawinan silang) antara dua isolat P. infestans yang mempunyai mating type (tipe perkawinan) berbeda (Purwanti, 2002). Inti sel antheridium dan oogonium akan saling melebur (karyogami) ketika antheridium memasuki oogonium. Mereka akan membentuk oospore diploid, yang mana akan berkembang menjadi sporangium dan daur hidup secara aseksual akan terulan (Benrud, 2007). Berbagai macam kondisi untuk pembentukan oospora telah dianalisis. Di bawah suatu kontrol, oospora diproduksi pada daun kentang pada temperature antara 5 - 25C (Govers, F.,dkk., 2007).dekat dengan 100% kelembaban relatif, Phytophthora menghasilkan jumlah berlimpah sporangia pada permukaan daun (Anonim1, 2005).

C. EKOLOGI
Tanaman inang dari P. infestans adalah kentang dan tomat. P. infestans berasal dari pegunungan Andes sebelah utara, kemudian menyebar ke seluruh Amerika, Eropa, dan seluruh dunia (Pracaya, 2004). Akhir-akhir ini, sebaran populasi P. infestans yang beragam telah dilaporkan dari berbagai wilayah di Eropa, Amerika Serikat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, tetapi laporan dari Asia masing sangat terbatas. Di Indonesia, mating type A2 juga telah ditemukan (Nishimura et al., dalam Purwanti, 1998).  
Menurut Nishimura et al. dalam Purwanti, 1998), hingga saat ini, di dunia hanya dijumpai dua mating type P. infestans, yaitu Al dan A2. Mating type Al merupakan mating type yang paling dominan dan tersebar luas di dunia, sedangkan mating type A2 relatif terbatas, terutama dijumpai di Mexico (Nishimura et al., dalam Purwanti, 1998). Keberadaan kedua mating type tersebut telah memberi peluang terjadinya perkawinan silang, sehingga terbentuk oospora yang berakibat munculnya berbagai strain atau ras baru P. infestans yang sangat beragam ciri-cirinya, terutama virulensinya tanaman inangnya (Romero dan Erwin dalam Purwanti, 1969). Pembentukan ras baru sering terjadi dan dalam waktu yang relatif singkat, sehingga mempersulit upaya pengendalian menggunakan varietas tahan.
Pembentukan penyakit busuk daun ini bervariasi sesuai kondisi lingkungan. Kelembaban relative, suhu, intensitas cahaya, dan pemeliharaan kentang itu sendiri akan mempengaruhi gejala yang timbul (Anonim, 2005). Daun yang sakit terlihat berbecak – bercak pada ujung dan tepi daunnya dan dapat meluas ke bawah serta mematikan seluruh daun dalam waktu 1 sampai 4 hari; hal ini terjadi jika udara lembab. Bila udara kering jumlah daun yang terserang terbatas, bercak – bercak tetap kecil dan jadi kering dan tidak menular ke daun lainnya (Pracaya, 2004).
Di lingkungan tropis, tanaman kentang akan terus berkembang, sehingga udara umumnya inokulum memulai awal terjadinya penyakit pada lahan baru. Di daerah dataran rendah, tanah atau sisa – sisa tanaman diperkirakan menjadi tempat yang sesuai bagi pathogen antara musim. Jamur juga akan bertahan hidup dalam umbi yang terinfeksi tetap di tanah dari musim sebelumnya. Benih juga bisa terinfeksi dan menjadi tempat hidup pathogen. Ketika tunas baru dihasilkan dari benih atau umbi tua yang terinfeksi, jamur tersebut akan menginfeksi tunas baru tersebut, kemudian sporulates dari pertumbuhan baru ini serta sporangia akan tersebar di udara atau air (Anonim1, 2005).

D. TAKSONOMI
Domain : Eukaryota
Kingdom : Chromalveolata
Phylum : Heterokontophyta
Class : Oomycetes
Ordo : Peronosporales
Famili : Pythiaceae
Genus : Phytophthora
Species : Phytophthora infestan
(Anonim2, 2009).


E. PERANANNYA DALAM LINGKUNGAN
Jamur Phytophthora infestans termasuk salah satu jamur yang dapat merusak lingkungan terutama pada areal perkebunan kentang dan tomat karena merupakan penyebab penyakit busuk daun kentang atau tomat. Bila busuk daun menjarah areal kentang, sangat fatal akibatnya. Kerugian 30-40% jelas akan diderita petani. Apalagi jika terlambat mengendalikannya, praktis tanaman akan hancur (Anonim3, 2001). 
Penyakit ini mempunyai makna sejarah yang penting di Eropa, karena pada periode 1830-1845 telah menimbulkan kerusakan pada pertanaman kentang di Eropa dan Amerika. Kerusakan yang ditimbulkan penyakit tersebut telah menimbulkan kelaparan besar di Irlandia yang mengakibatkan ratusan ribu penduduk meninggal. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai The Great Famine (Romero dan Erwin; Semangun, dalam Purwanti, 1989). Sejak saat itu, penyakit ini telah menjadi kendala utama produksi kedua komoditas pertanian tersebut di dunia, terutama di daerah yang beriklim sejuk dan lembab (Mehrotra, dalam Purwanti, 1980). Pada kentang, patogen hawar daun mula-mula dideskripsi di Perancis pada tahun 1845 oleh Montagne dan pada tomat oleh Payen tahun 1847. Pada tahun 1876, setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, Anton de Bary mengukuhkan nama patogen P. infestans (Mont.) de Bary (Sherf dan Macnab, dalam Purwanti, 1986) sebagai penyebab penyakit hawar daun pada kentang. Penyakit hawar daun sangat merusak dan sulit dikendalikan, karena P. infestans merupakan jamur patogen yang memiliki patogenisitas beragam (Purwanti, 2002).







Gambar 3. Serangan Phytophthora Infestan pada daun kentang
Gelaja awalnya tampak berupa bercak-bercak hijau kelabu pada permukaan bawah daun, kemudian berubah menjadi coklat tua. Semula serangannya hanya terjadi pada daun-daun bawah, lambat laun merambat ke atas dan menjarah daun-daun yang lebih muda. Bila serangan menghebat, daun yang kering akan mengeriting dan mengerut, tetapi bila keadaan udara tetap basah maka daun akan membusuk dan sering mengeluarkan bau yang tidak enak. Bila udara panas dan kelembaban tinggi perkembangan penyakit sangat cepat. Seluruh daun akan menghitam, layu dan menjalar ke seluruh batang. Dalam keadaan lembab, pada sisi bagian bawah daun akan kelihatan cendawan kelabu, yang terdiri dari conidiophores dengan konidianya. Akibatnya akan semakin parah, jaringan daun akan segera membusuk dan tanaman mati.
Gejala ini cepat sekali menjalar ke seluruh areal kentang dan membinasakan tanaman, terlebih lagi bila musim hujan tiba. Percikan air akan mengantar spora cendawan ganas ini kemana-mana. Keganasan cendawan ini ternyata tidak hanya menimpa daun, umbi pun dimangsanya pula. Kulit umbi yang terserang melekuk dan agak berair. Bila umbi dibelah, daging umbi berwarna cokelat dan busuk. Praktis umbi tidak laku dijual (Anonim, 2001).

Pada Buah 
• Becak yang berwarna hijau kelabu kebasah-basahan meluas menjadi becak yang bentuk dan besarnya tidak tertentu. 
• ¬Pada buah tomat hijau bercak berwarna coklat tua, agak keras dan berkerut. 
• ¬Becak mempunyai batas yang cukup tegas, dan batas ini tetap berwarna hijau pada waktu bagian buah yang tidak sakit matang ke warna yang biasa. 
• ¬Kadang-kadang becak mempunyai cincin-cincin. 
• Dalam pengangkutan, penyakit dapat menyebabkan busuk lunak dan berair, yang mungkin disebabkan oleh jasad sekunder (Rumahlewang, 2008).



 









Gambar 4. Serangan Phytophthora infestans pada buah kentang











Gambar 5. Serangan Phytophthora infestans pada tomat

Dengan demikian jelas penyakit ini memiliki peranan yang merugikan bagi lingkungan, karena cepat menjalar dan sangat merugikan. Tak aneh, bila hingga kini penyakit ini masih menjadi momok bagi petani kentang.
 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim1, 2005. Phytophthora infestans. 
http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/Type/p_infest.htm. Diakses tanggal 8 Maret 2009.
Anonim2. 2009. Phytophthora infestan. 
http://en.wikipedia.org/wiki/Phytophthora_infestan. Diakses tanggal 8 Maret 2009.
Anonim3.2001.Penyakit Lodoh Pada Kentang. 
http://sugihsantosa.atspace.com/artikel/lodoh.html. Diakses tangal 6 Maret 2009.
Benru Jacob, 2007. Phytophthora infestans. http://bioweb.uwlax.edu. Diakses tanggal 8 Maret 2009.
Dwidjesepuro,D. 2005. Dasar – Dasar Mikrobiologi. Djambatan, Jakarta.
Govers,F.,dkk. 2007. Formation and survival of oospores of Phytophthora infestans under natural conditions. http://www3.interscience.wiley.com. Diakses tanggal 8 Maret 2009.
Pracaya, 2004. Hama dan Penyakit Tanaman. Swadaya, Jakarta.
Purwanti, Haeni. 2002. Penyakit Hawar Daun (Phytophthora infestans (Mont.) de Bary) pada Kentang dan Tomat: Identifikasi Permasalahan di Indonesia. http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobio/abstrak/agrobio_vol5_no2_2002_67-72.php. Diakses tangal 6 Maret 2009.
Rumahlewang,Wilhelmina. 2008. Penyakit Penting Tanaman Sayuran. http://kliniktanaman.blogspot.com. Diakses tanggal 8 Maret 2009.